BEI Terapkan Aturan Baru Fraksi Harga Saham

Per tanggal 2 Mei 2016 BEI terapkan lima fraksi harga saham.

Mengenal Berbagai Tipe Investor

Anda termasuk tipe investor yang mana?

Tips Sebelum Pindah Bank KPR

Perhitungkan secara teliti apabila Anda akan memindahkan KPR ke bank lain.

Mesiasati Harga Jual-Beli Ketika Menjual Emas

Bagaimana menyiasati selisih/spread harga jual-beli emas ini agar kenaikan sesungguhnya yang akan kita peroleh tidak berkurang banyak?

Tips Menggunakan Kartu Kredit

Berikut ini informasi dan tips bagi Anda yang mempunyai atau ingin memiliki kartu kredit.

Kamis, 19 Februari 2015

Pemerintah Indonesia Lelang Obligasi Negara Rp. 10 Triliun

Pemerintah Indonesia akan menggelar lelang Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi negara dalam mata uang rupiah pada 3 Maret 2015, dengan target indikatif Rp10 triliun. Berdasarkan keterangan tertulis dari Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, lelang dengan target indikatif Rp. 10 triliun tersebut untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2015.



Surat Utang Negara yang akan dilelang mempunyai nominal per unit sebesar Rp. 1 juta dengan seri-seri sebagai berikut:

Seri SPN03150604 (new issuance)
Jatuh tempo: 4 Juni 2015

Seri SPN12160304 (new issuance)
Jatuh tempo: 4 Maret 2016

Seri FR0070 (reopening)
Kupon: 8,375%
Jatuh tempo: 15 Maret 2024

Seri FR0068 (reopening)
Kupon: 8,375%
Jatuh tempo: 15 Maret 2034.

Penjualan SUN tersebut akan dilaksanakan dengan menggunakan sistem pelelangan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Lelang akan bersifat terbuka (open auction), menggunakan metode harga beragam (multiple price).

Total alokasi pembelian non-kompetitif untuk SUN seri SPN03150604 dan SPN12160304 adalah sebesar 50% dari yang dimenangkan. Sedangkan alokasi pembelian non-kompetitif untuk FR0070 dan FR0068 adalah maksimal sebesar 30% dari yang dimenangkan.

Keterangan tersebut menyatakan, penerbitan surat utang akan dilakukan pada Kamis, 5 Maret 2015.

Rabu, 11 Februari 2015

Mari Berinvestasi Obligasi: Memaksimalkan Keuntungan Obligasi (bagian 2)

Setelah Investor memegang obligasi yang diperoleh dari pembelian di pasar primer (Penawaran Publik/IPO) atau pasar sekunder (Bursa Efek atau Over the Counter), maka investor mempunyai dua pilihan strategi agar dapat memaksimalkan pendapatan dari obligasi tersebut.





1. Menyimpan obligasi hingga tanggal jatuh tempo (Hold to Maturity)
Investor dapat menyimpan obligasi yang dibeli, dan menyimpan hingga mendapatkan pengembalian seluruh dana yang diinvestasikannya pada tanggal jatuh tempo. Strategi ini menjanjikan tingkat pendapatan maksimum bagi investor dari obligasi yang dipegangnya, dengan catatan setiap bunga (kupon) yang diterima secara berkala sepanjang periode obligasi tersebut langsung diinvestasikan kembali dengan tingkat bunga yang kurang lebih sama.

Keuntungan lain dari penerapan strategi ini adalah menghindarkan investor dari risiko kerugian akibat naik turunnya harga obligasi di pasar.

2. Melakukan transaksi jual beli obligasi (Trading)
Investor juga dapat menjual obligasi pada saat harga sedang tinggi dan/atau membeli pada saat harga sedang rendah untuk memperoleh keuntungan. Hal ini dimungkinkan karena harga obligasi di pasar dapat mengalami kenaikan dan penurunan seiring dengan perubahan indikator ekonomi dan keuangan Indonesia maupun dunia.

Bila obligasi kebanyakan tidak ditransaksikan di bursa, dimanakah investor dapat menjual atau membeli obligasi? Pada umumnya investor dapat menghubungi bank atau perusahaan sekuritas untuk kepentingan tersebut. Tetapi khususnya untuk investor pemegang ORI, jual beli dapat dilakukan melalui agen penjual dimana investor membeli ORI tersebut pertama kali.

Di harga berapa investor dapat menjual atau membeli obligasi? Pertanyaan ini wajar muncul karena ada penjelasan sebelumnya mengenai kondisi pasar obligasi. Tapi tak perlu khawatir, saat ini harga obligasi pada umumnya dan ORI pada khususnya sudah dapat diperoleh dengan mudah.

Bila sebelumnya investor harus mencari data harga dari berbagai sumber dan menghitung sendiri untuk mendapatkan kisaran harga obligasi, saat ini sudah ada IBPA (Indonesia Bond Pricing Agency). IBPA adalah lembaga independen yang oleh Bapepam-LK selaku regulator pasar modal ditugaskan secara khusus untuk menetapkan dan menerbitkan seluruh harga pasar wajar obligasi termasuk ORI. Harga pasar wajar ORI yang ditetapkan oleh IBPA secara harian dapat diperoleh secara gratis di berbagai koran bisnis terkemuka ataupun diakses di www.ibpa.co.id sebagai situs internet resmi IBPA.

Berbekal informasi harga pasar wajar obligasi dari IBPA tersebut, maka investor obligasi dapat mengamati perkembangan harga obligasi yang dimilikinya. Dengan demikian transaksi jual dan beli obligasi untuk memperoleh keuntungan dapat dilakukan secara obyektif dengan mempertimbangkan naik turunnya harga obligasi di pasar.

Berinvestasi merupakan langkah bijak yang sangat dianjurkan oleh perencana keuangan manapun. Tapi yang perlu diingat adalah investasi selalu dihadapkan pada risiko kerugian. Dengan memasukan obligasi sebagai bagian dari investasi dapat meminimalkan risiko yang dihadapi oleh investor.

Khusus bagi pemegang ORI, selain memperoleh keuntungan dari hasil investasinya, ada hal mulia lain yang terkandung di dalamnya. Dengan membeli ORI, investor ikut serta secara aktif mendukung pemerintah Republik Indonesia dalam membangun bangsa dan negara Indonesia agar tercapai masyarakat adil dan makmur.

Selasa, 03 Februari 2015

Mari Berinvestasi Obligasi (bagian 1)


Belakangan istilah ORI akrab di mata dan telinga kita. Hal ini tak mengherankan karena saat ini Pemerintah Republik Indonesia dengan dibantu puluhan bank dan perusahaan sekuritas tengah gencarnya memasarkan Obligasi Negara Ritel atau dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Untuk itu berbagai papan reklame yang biasanya didominasi produk perbankan, untuk sementara waktu harus rela diganti untuk mensukseskan penjualan ORI.



Sejak pemerintah menerbitkan ORI seri 001 di tahun 2006, penerbitan Obligasi Negara Indonesia selalu laris manis. Minat masyarakat untuk membeli ORI selalu menigkat dari tahun ke tahun, hingga belakangan pemerintah sampai merasa perlu untuk membatasi maksimum pembelian agar kepemilikan ORI tidak jatuh ke tangan segelintir orang saja. Contoh pembatasan yang ditetapkan pemerintah pada penerbitan ORI 008 adalah dengan membatasi pembelian maksimum oleh setiap investor tidak boleh melebihi Rp 3 miliar.

Mengapa ORI yang merupakan satu diantara jenis instrumen investasi obligasi bisa sedemikian menarik? Apakah yang dimaksud dengan obligasi? Bagaimana memaksimalkan investasi Anda di ORI maupun obligasi?

Perangkat penggalangan dana dan instrumen investasi

Penerbitan obligasi merupakan satu diantara pilihan bagi pemerintah maupun perusahaan swasta untuk melakukan penggalangan dana dari masyarakat luas melalui pasar modal. Sebagai contoh, Pemerintah RI menerbitkan Obligasi Negara Ritel untuk menghimpun dana dari masyarakat agar dapat membiayai sebagian dari defisit anggaran belanja pemerintah.

Contoh lain, Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat memperoleh dana untuk membangun pembangkit listrik baru, pembangunan jalur distribusi listrik baru dari penerbitan obligasi yang dijual kepada investor.

Untuk berbagai tujuan tersebut pemerintah RI atau perusahaan swasta kemudian menerbitkan sertifikat obligasi sebagai “tanda bukti berutang” kepada investor yang membeli obligasi dengan sejumlah nilai uang tertentu, jangka waktu tertentu, dengan imbalan tingkat bunga (kupon) tertentu.

Karena bersifat utang, maka pada akhir periode pinjaman atau tanggal jatuh tempo, penerbit obligasi berkewajiban mengembalikan seluruh hutangnya kepada investor. Sementara bunga obligasi (kupon) yang merupakan imbalan bagi investor atas dana yang dipinjamkan, biasanya dibayarkan secara berkala dan dalam jumlah tetap sepanjang periode pinjaman berlangsung. Oleh karena itu instrumen obligasi sering disebut juga dengan instrumen investasi yang memberikan pendapatan tetap bagi investor pemegangnya (Fixed Income).


Keuntungan yang diharapkan investor dari investasi dalam bentuk obligasi adalah peluang untuk mendapatkan tingkat pengembalian (imbal hasil/pendapatan) yang lebih tinggi dari deposito dan adanya rasa aman dari kemungkinan kehilangan dana investasi akibat kebangkrutan. Khususnya obligasi yang diterbitkan pemerintah, kemungkinan kebangkrutan dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga sering digolongkan sebagai instrumen investasi yang tidak ada risiko kebangkrutan (Risk Free).

Manfaat lain dari obligasi bagi investor adalah adanya tambahan pilihan alat investasi selain saham. Prinsip manajemen risiko yang menekankan untuk “Tidak menaruh seluruh telur dalam satu keranjang” bukan lagi monopoli dari manajer investasi yang mengelola dana yang berjumlah besar. Dengan adanya obligasi sebagai alat investasi, investor ritel pun dapat mulai membagi dananya untuk diinvestasikan ke dalam beberapa “keranjang” yang berbeda. Dengan demikian bila “keranjang saham” sedang jatuh dan telur di dalam nya pecah, maka masih ada “keranjang obligasi” yang masih aman, dan demikian pula sebaliknya. Sebagai informasi sebelum adanya instrumen Obligasi Ritel Indonesia, sebagian besar obligasi hanya dibeli dan dijual oleh perusahaan maupun institusi keuangan besar.

Investor Ritel berinvestasi obligasi

Mengapa obligasi hingga saat ini relatif masih belum populer di kalangan investor ritel Indonesia dibanding saudaranya yang bernama saham?

Salah satu penyebab utamanya adalah karena transaksi obligasi umumnya tidak dilakukan di Bursa Efek. Kebanyakan obligasi ditransaksikan di luar bursa (over the counter) antara dua pihak yang bersepakat untuk melakukan transaksi jual dan beli. Berbeda dengan saham yang hampir selalu ditransaksikan di bursa, investor dengan mudah melakukan transaksi jual beli saham maupun untuk mendapatkan informasi harga mutakhir. Dengan tidak ditransaksikannya obligasi di bursa, transaksi obligasi dilakukan secara terpencar-pencar oleh para pelakunya. Konsekuensinya investor mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi mengenai masing-masing transaksi serta informasi harga jual dan beli dari setiap seri obligasi.

Selain karena transaksi obligasi dilakukan secara over the counter, penyebab lain dari kurang memasyarakatnya obligasi adalah nilai minimum transaksi obligasi yang sangat besar sehingga menyulitkan investor ritel untuk membeli obligasi. Sebagai gambaran, nilai transaksi yang umum terjadi di pasar sekunder obligasi adalah Rp 1 miliar untuk setiap transaksi, bandingkan dengan investasi di saham dimana investor mempunyai banyak pilihan apakah akan bertransaksi dengan nilai puluhan ribu rupiah hingga puluhan jutaan rupiah saja untuk satu lot saham. Sebagai contoh, untuk dapat membeli saham perusahaan mentereng sekelas PT Astra International Tbk. pada tanggal 18 Januari 2011 seorang investor ritel cukup merogoh kocek sebesar Rp 4700,- per lembar saham, atau Rp 2.350.000,- untuk mendapatkan 1 lot atau 500 lembar saham.

Tidak heran, instrumen obligasi selama ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan investor institusional seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, bank, dan lembaga keuangan lainnya. Peluang investor ritel dengan daya beli yang terbatas menjadi sangat kecil untuk dapat menginvestasi dananya dalam bentuk obligasi. Keberadaan ORI merupakan solusi ampuh untuk menjembatani kesulitan yang dihadapi oleh investor ritel ini. Obligasi yang biasanya dijual dalam partai besar (baca: miliaran Rupiah), melalui ORI obligasi tersebut dipecah-pecah dan dapat dijual secara eceran (ritel) sehingga mudah terjangkau oleh investor ritel.

bersambung ke bagian 2