Selasa, 03 Februari 2015

Mari Berinvestasi Obligasi (bagian 1)


Belakangan istilah ORI akrab di mata dan telinga kita. Hal ini tak mengherankan karena saat ini Pemerintah Republik Indonesia dengan dibantu puluhan bank dan perusahaan sekuritas tengah gencarnya memasarkan Obligasi Negara Ritel atau dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Untuk itu berbagai papan reklame yang biasanya didominasi produk perbankan, untuk sementara waktu harus rela diganti untuk mensukseskan penjualan ORI.



Sejak pemerintah menerbitkan ORI seri 001 di tahun 2006, penerbitan Obligasi Negara Indonesia selalu laris manis. Minat masyarakat untuk membeli ORI selalu menigkat dari tahun ke tahun, hingga belakangan pemerintah sampai merasa perlu untuk membatasi maksimum pembelian agar kepemilikan ORI tidak jatuh ke tangan segelintir orang saja. Contoh pembatasan yang ditetapkan pemerintah pada penerbitan ORI 008 adalah dengan membatasi pembelian maksimum oleh setiap investor tidak boleh melebihi Rp 3 miliar.

Mengapa ORI yang merupakan satu diantara jenis instrumen investasi obligasi bisa sedemikian menarik? Apakah yang dimaksud dengan obligasi? Bagaimana memaksimalkan investasi Anda di ORI maupun obligasi?

Perangkat penggalangan dana dan instrumen investasi

Penerbitan obligasi merupakan satu diantara pilihan bagi pemerintah maupun perusahaan swasta untuk melakukan penggalangan dana dari masyarakat luas melalui pasar modal. Sebagai contoh, Pemerintah RI menerbitkan Obligasi Negara Ritel untuk menghimpun dana dari masyarakat agar dapat membiayai sebagian dari defisit anggaran belanja pemerintah.

Contoh lain, Perusahaan Listrik Negara (PLN) dapat memperoleh dana untuk membangun pembangkit listrik baru, pembangunan jalur distribusi listrik baru dari penerbitan obligasi yang dijual kepada investor.

Untuk berbagai tujuan tersebut pemerintah RI atau perusahaan swasta kemudian menerbitkan sertifikat obligasi sebagai “tanda bukti berutang” kepada investor yang membeli obligasi dengan sejumlah nilai uang tertentu, jangka waktu tertentu, dengan imbalan tingkat bunga (kupon) tertentu.

Karena bersifat utang, maka pada akhir periode pinjaman atau tanggal jatuh tempo, penerbit obligasi berkewajiban mengembalikan seluruh hutangnya kepada investor. Sementara bunga obligasi (kupon) yang merupakan imbalan bagi investor atas dana yang dipinjamkan, biasanya dibayarkan secara berkala dan dalam jumlah tetap sepanjang periode pinjaman berlangsung. Oleh karena itu instrumen obligasi sering disebut juga dengan instrumen investasi yang memberikan pendapatan tetap bagi investor pemegangnya (Fixed Income).


Keuntungan yang diharapkan investor dari investasi dalam bentuk obligasi adalah peluang untuk mendapatkan tingkat pengembalian (imbal hasil/pendapatan) yang lebih tinggi dari deposito dan adanya rasa aman dari kemungkinan kehilangan dana investasi akibat kebangkrutan. Khususnya obligasi yang diterbitkan pemerintah, kemungkinan kebangkrutan dapat dikatakan hampir tidak ada, sehingga sering digolongkan sebagai instrumen investasi yang tidak ada risiko kebangkrutan (Risk Free).

Manfaat lain dari obligasi bagi investor adalah adanya tambahan pilihan alat investasi selain saham. Prinsip manajemen risiko yang menekankan untuk “Tidak menaruh seluruh telur dalam satu keranjang” bukan lagi monopoli dari manajer investasi yang mengelola dana yang berjumlah besar. Dengan adanya obligasi sebagai alat investasi, investor ritel pun dapat mulai membagi dananya untuk diinvestasikan ke dalam beberapa “keranjang” yang berbeda. Dengan demikian bila “keranjang saham” sedang jatuh dan telur di dalam nya pecah, maka masih ada “keranjang obligasi” yang masih aman, dan demikian pula sebaliknya. Sebagai informasi sebelum adanya instrumen Obligasi Ritel Indonesia, sebagian besar obligasi hanya dibeli dan dijual oleh perusahaan maupun institusi keuangan besar.

Investor Ritel berinvestasi obligasi

Mengapa obligasi hingga saat ini relatif masih belum populer di kalangan investor ritel Indonesia dibanding saudaranya yang bernama saham?

Salah satu penyebab utamanya adalah karena transaksi obligasi umumnya tidak dilakukan di Bursa Efek. Kebanyakan obligasi ditransaksikan di luar bursa (over the counter) antara dua pihak yang bersepakat untuk melakukan transaksi jual dan beli. Berbeda dengan saham yang hampir selalu ditransaksikan di bursa, investor dengan mudah melakukan transaksi jual beli saham maupun untuk mendapatkan informasi harga mutakhir. Dengan tidak ditransaksikannya obligasi di bursa, transaksi obligasi dilakukan secara terpencar-pencar oleh para pelakunya. Konsekuensinya investor mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi mengenai masing-masing transaksi serta informasi harga jual dan beli dari setiap seri obligasi.

Selain karena transaksi obligasi dilakukan secara over the counter, penyebab lain dari kurang memasyarakatnya obligasi adalah nilai minimum transaksi obligasi yang sangat besar sehingga menyulitkan investor ritel untuk membeli obligasi. Sebagai gambaran, nilai transaksi yang umum terjadi di pasar sekunder obligasi adalah Rp 1 miliar untuk setiap transaksi, bandingkan dengan investasi di saham dimana investor mempunyai banyak pilihan apakah akan bertransaksi dengan nilai puluhan ribu rupiah hingga puluhan jutaan rupiah saja untuk satu lot saham. Sebagai contoh, untuk dapat membeli saham perusahaan mentereng sekelas PT Astra International Tbk. pada tanggal 18 Januari 2011 seorang investor ritel cukup merogoh kocek sebesar Rp 4700,- per lembar saham, atau Rp 2.350.000,- untuk mendapatkan 1 lot atau 500 lembar saham.

Tidak heran, instrumen obligasi selama ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan investor institusional seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, bank, dan lembaga keuangan lainnya. Peluang investor ritel dengan daya beli yang terbatas menjadi sangat kecil untuk dapat menginvestasi dananya dalam bentuk obligasi. Keberadaan ORI merupakan solusi ampuh untuk menjembatani kesulitan yang dihadapi oleh investor ritel ini. Obligasi yang biasanya dijual dalam partai besar (baca: miliaran Rupiah), melalui ORI obligasi tersebut dipecah-pecah dan dapat dijual secara eceran (ritel) sehingga mudah terjangkau oleh investor ritel.

bersambung ke bagian 2

0 comments: